Daerah  

Marak Perkelahian Pelajar, Begini Kata Psikolog

PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM- Beberapa hari ini viral melalui video maupun pemberitaan terkait maraknya perkelahian antarpelajar di sejumlah daerah di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Penyebab pasti belum diketahui mengapa sejumlah pelajar tersebut melakukan perkelahian.
Psikolog dari Perhimpunan Pembina Kesehatan Olahraga Indonesia (PPKORI) Provinsi Kalteng Dini Novita S.Psi menyampaikan, perkelahian yang terjadi antarpelajar itu tidak bisa langsung dibilang sebagai kenakalan remaja.
Remaja itu dalam masa perkembangannya memang di usia 12 sampai 21 tahun dalam fase di mana sedang mencari jati diri, terjadi pergeseran dari masa anak-anak ke remaja dan dari remaja ke masa awal dewasa.
“Jadi itu ada di tengah-tengah dari anak-anak ke tahap awal dewasa. Makanya mereka itu kalau misalnya salah pergaulan bisa masuk ke dalam hal-hal negatif seperti perkelahian, bisa juga perkelahian itu mereka ingin menunjukkan dirinya ke temannya dan orang lain,” kata Dini, Selasa (7/6).
Perempuan lulusan S1 Psikologi Universitas Merdeka Malang pada 2019 ini menuturkan, dalam fase remaja ada 3 fase. Pertama, adolensi dini, pada fase ini hasrat seksual meningkat namun kreativitas dan ketekunan menurun, hubungan dengan orang tua mulai renggang, mulai berteman, sering keluar rumah dan ada perubahan perilaku. Ini biasanya terjadi pada saat usia memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Adolensi menengah, di fase ini hubungan dengan lawan jenis meningkat, fantasi meningkat, mulai merasa bebas berpendapat, mengatakan kepada orang apa yang disukai dan tidak.
Kemudian adolensi akhir. Dalam fase ini mulai ada perubahan, bisa menerima perbedaan, sikapnya mulai meniru orang tua. Di fase ini perlu kestabilan dalam pendampingan dan bimbingan orang tua, bahkan bisa perlu bantuan profesional.
Menurut perempuan yang kini melanjutkan studi S2 Psikolog Profesi di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, setiap tahapan perkembangan menciptakan pemikiran yang berbeda tentang bagaimana remaja berperilaku dan mengartikan nilai dan norma sosial. Di tahap ini kalau gagal mencari identitas, maka terjadi krisis identitas berdampak pada sering buat masalah.
Pandangan keliru remaja tentang eksistensinya di dunia adalah salah satu pemicu tawuran. Kalau nggak tawuran nggak jantan, kalau nggak ikut nanti nggak ada teman. Secara fisik dari psikologi remaja dalam masa transisi di tengah posisi tidak menentu dan dalam keadaan emosi yang tidak stabil akibat perubahan fisik dan hormon dalam tubuhnya, mencari identitas diri untuk dapat pengakuan eksistensi.
Dalam pencarian identitas remaja sering terobsesi dengan “simbol” biasanya bergabung dalam komunitas maupun geng tertentu. Ini dilakukan karena mau menunjukkan ke orang lain bahwa mereka sudah besar dan dewasa, bukan anak-anak lagi. Tetapi ruang baru yang mereka masuki ini bisanya menuntut solidaritas bahkan dapat menyimpang.
Faktor pemicunya juga biasanya hal-hal sepele, seperti bersenggolan, berebut pacar, tatap-tatapan dan terjadinya konflik yang dianggap sebagai tantangan. Faktor lainnya dari dalam diri sendiri yakni emosional. Kemudian dari eksternal sejarah sekolah berkelahi, ketidakkonsistenan orang dewasa ada kenyataan yang berbeda dengan kehidupan nyata. Selain itu, game juga bisa memengaruhi emosional anak.
Dalam pencapaian jati diri, remaja perlu perhatian dan penghargaan atas eksistensinya, khususnya dari orang terdekat terutama orang tua. Mengawasi pergaulan anak, memberikan motivasi dan apresiasi. Kemudian peran pemerintah dalam hal ini bisa melalui workshop diberi pengertian terkait perbuatan yang tidak sesuai norma. yml

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.