PALANGKA RAYA/TABENGAN.COM– Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II tahun 2021 bagian Pengendalian dan Pengawasan Penggunaan Kawasan Hutan Tanpa Izin bidang Kehutanan, menemukan sekitar 2,90 juta hektare lahan sawit Indonesia masuk kawasan hutan. Tanpa izin bidang kehutanan, juga belum teridentifikasi subjek hukumnya.
Sementara itu, hasil rapat kerja Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dengan Komisi IV DPR RI, kawasan hutan seluas 793.515 hektare di Kalimantan Tengah dikuasai oleh korporasi sawit dan tambang ilegal per 31 Mei 2022. Rinciannya, 771.615 ha dikuasai korporasi sawit dan 21.900 ha hutan dikuasai tambang.
Menyikapi hal itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng Bayu Herinata menegaskan, apabila memang hasil temuan BPK, dan data dari Kemen LHK demikian, semua kembali ke pemerintah itu sendiri. Apakah serius dalam melakukan penindakan, atau sebaliknya. Apabila memang pemerintah serius, maka langkah paling tegas yang dapat ditempuh adalah jalur hukum.
“Pertambangan dan perkebunan yang masuk dalam kawasan hutan sudah sangat jelas melanggar hukum. Lahan sawit atau tambang yang masuk dalam kawasan hutan, dan terindikasi melanggar hukum, maka wajib untuk dipidana. Sebab, ada kerugian negara yang ditimbulkan dengan adanya kegiatan pertambangan dan perkebunan di kawasan hutan,” kata Bayu, di Palangka Raya, Senin (8/6/2022).
Kerugian negara dimaksud, jelas Bayu, seperti biaya yang harus dibayarkan ke negara pada saat mengurus Hak Guna Usaha (HGU). Misalnya provisi sumber daya hutan, ataupun uang jaminan sebagai bentuk reboisasi atas penggunaan hutan tersebut. Ini beberapa indikasi atau dugaan yang dapat menjerat pemilik perkebunan dan pertambangan ke pidana.
Ada pula sisi positif dengan adanya evaluasi yang dilakukan pemerintah, lanjut Bayu, atas keberadaan pertambangan dan perkebunan yang berada dalam kawasan hutan. Identifikasi lahan yang dilakukan oleh pemerintah, dapat menyelesaikan konflik yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan.
Dapat diketahui, kata Bayu, lahan yang digunakan untuk perkebunan ataupun pertambangan itu apakah milik warga atau seperti apa. Milik warga dalam artian hutan adat yang digunakan masyarakat untuk diambil hasilnya untuk kebutuhan hidup. Apabila memang milik warga, maka dapat segera dikembalikan ke warga. Penegakan ataupun penindakan yang dilakukan atas lahan dalam kawasan hutan, juga sebagai fungsi untuk kebaikan lingkungan.
Menurut Bayu, adanya lahan seluas tersebut yang masuk dalam kawasan hutan diduga masuk dalam 1,5 juta ha yang akan dilakukan pemutihan oleh Pemerintah Kalteng. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Provinsi masih melakukan negosiasi terkait dengan pemutihan lahan seluas 1,5 juta ha, yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng.
Pemutihan ini, tambah Bayu, berawal dari “ketelanjuran” sejumlah usaha yang sudah menggarap kawasan hutan. Sebab itu, agar tidak menjadi permasalahan, maka diajukan pemutihan, sehingga lokasinya akan menjadi legal.
Walhi Kalteng secara tegas menolak dilakukannya pemutihan kawasan hutan seluas 1,5 juta ha. Walhi menuntut kawasan hutan tersebut dikembalikan ke negara dan dikembalikan fungsinya sebagai penopang alam. ded