Tabengan – Pempimpin perusahaan merasa kewalahan dan kurang mengerti dalam mengelola data yang ada untuk mengambil keputusan sehingga menghambat kualitas hidup dan kinerja bisnis mereka.
Ini menjadi hasil studi terbaru The Decision Dilema yang dilakukan Oracle dan Seth Stephens Davidowitz, penulis terlaris New York Times.
Studi ini melibatkan lebih dari 14.000 karyawan dan pemimpin bisnis di 17 negara, termasuk 4.500 responden dari Asia Pasifik dan Jepang (JAPAC) menemukan, pemimpin perusahaan merasa saat ini mereka dalam tekanan dan penuh perjuangan dibanding sebelumnya ketika harus membuat keputusan dalam kehidupan pribadi maupun profesional mereka.
Jumlah keputusan yang dibuat berlipat ganda dan banyaknya data tidak membantu pemimpin bisnis di JAPAC kesulitan dengan banyaknya data dan ini merusak kepercayaan, membuat keputusan jauh lebih rumit, dan berdampak negatif pada kualitas hidup mereka.
Sebanyak 74 persen orang mengatakan jumlah keputusan yang mereka buat setiap hari telah meningkat 10 kali lipat selama tiga tahun terakhir dan saat mereka mencoba membuat keputusan ini, 75 persen lainnya dibombardir dengan lebih banyak data daripada sebelumnya dari berbagai sumber lainnya.
Sebanyak 86 persen responden mengatakan bahwa volume data membuat keputusan dalam kehidupan pribadi dan profesional mereka jauh lebih rumit dan 61 persen mengakui bahwa mereka menghadapi dilema keputusan – tidak tahu keputusan apa yang harus diambil – hal ini terjadi lebih dari sekali setiap hari.
Terdata sebanyak 33 persen tidak mengetahui data atau sumber mana yang dapat dipercaya dan 71 persen menyerah dalam mengambil keputusan karena datanya terlalu banyak.
89 persen orang mengatakan ketidakmampuan membuat keputusan berdampak negatif pada kualitas hidup mereka. Ini menyebabkan lonjakan kecemasan (37 persen), kehilangan kesempatan (37 persen) dan pengeluaran yang tidak perlu (35 persen).
Hasilnya, 92 persen telah mengubah cara mereka mengambil keputusan selama tiga tahun terakhir. 41 persen sekarang hanya mendengarkan sumber yang mereka percayai dan 31 persen hanya mengandalkan firasat.
Seth Stephens-Davidowitz, Ilmuwan Data dan Penulis dari Everyone Lies dan Don’t Trust Your Gut mengatakan, orang tergoda untuk membuang data yang membingungkan, dan terkadang bertentangan dan hanya melakukan apa yang dirasa benar.
“Tapi ini bisa menjadi kesalahan yang besar karena bisa jadi berulang kali bahwa naluri dapat menyesatkan kita dan pengambilan keputusan terbaik dilakukan dengan pemahaman yang benar tentang data yang relevan,” katanya.
Chris Chelliah, Senior Vice President, Technology and Customer Strategy, Oracle Japan and Asia Pacific mengatakan, saat bisnis berkembang untuk melayani pelanggan dengan cara baru, jumlah input data yang diperlukan untuk mendapatkan gambaran yang lengkap juga bertambah.
“Para pemimpin bisnis yang membuat keputusan penting mengabaikan data tersebut atas risiko mereka sendiri,” kata Chris Chelliah.
Dikatakannya, keraguan, ketidakpercayaan, dan kurangnya pemahaman data yang ditunjukkan oleh penelitian ini selaras dengan apa yang kami dengar dari pelanggan yang memikirkan kembali pendekatan mereka dalam pengambilan keputusan.
Dr. Chris Marshall, VP Riset di IDC mengatakan, pemimpin bisnis di Asia Pasifik semakin sadar akan peran kualitas data dan analitik yang dapat dimainkan dalam mengungkap wawasan pasar dan pelanggan yang mendalam, apa saja yang mengganggu bisnis lama, dan bahkan mentransformasi seluruh industri.
“Menurut rilis terbaru Worldwide Big Data and Analytics (BDA) Spending Guide IDC untuk Asia Pasifik, pengeluaran untuk solusi BDA diperkirakan akan mencapai US$70,7 miliar pada tahun 2026,” katanya.