Puskod UKI: Perlu Audit Komprehensif Isu SDM Papua dan Papua Barat

Redaksi

JAKARTA/Corong Nusantara- Pusat Kajian Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (Puskod UKI) mendorong adanya audit komprehensif terhadap berbagai persoalan terkait kualitas sumber daya manusia (SDM) di Papua dan Papua Barat yang dipandang masih menjadi satu dari persoalan dasar di daerah tersebut.

Hal ini disampaikan dalam webinar bertajuk Otonomi Khusus Papua: Evaluasi dan Terobosan, Rabu (24/2/2021). Dalam webinar yang mendiskusikan wacana revisi Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua atau UU Otsus ini, Puskod UKI memandang bahwa isu SDM jadi perhatian bersama.

Selain itu, masalah dasar Papua lainnya antara lain seperti perbedaan pemahaman tentang sejarah Papua dan Papua Barat. Berikutnya menyangkut persoalan hak asasi manusia, pembangunan dan marginalisasi serta menyangkut pengelolaan sumber daya alam.

Teras Narang, Ketua Puskod UKI, mengatakan, kunci pembangunan sendiri pada dasarnya ada pada 3 sektor prioritas yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan. Maka, audit terhadap persoalan SDM di 3 sektor ini juga dinilai penting untuk mengurai persoalan dasar di Papua.

“Ini kalau audit keuangan, ini audit komprehensif. Khususnya bagaimana kita mengangkat terkait sumber daya manusia dari 3 bidang ini,” ujar Teras yang juga pernah menjadi Gubernur Kalteng periode 2005-2015 ini.

Teras yang bercermin dari pengalamannya memimpin daerah ini, menilai peningkatan kualitas SDM tidak akan berjalan dengan baik bila tidak ada atensi khusus dan pemahaman terhadap akar masalahnya. Terlebih ada kesan di masyarakat terhadap kesenjangan sosial antara Orang Asli Papua (OAP) dan masyarakat yang datang dan hidup bekerja di sana.

Belum lagi ke depan pemerintah melalui Menkominfo disebut akan menuntaskan koneksi internet di seluruh desa di Indonesia. Sehingga akses akan semakin terbuka, sekaligus menjadi tantangan bagi OAP dalam memanfaatkan kesempatan ini.

Senator DPD RI dari Kalteng ini pun mendorong agar dana Otsus ke depannya mengalami refocusing pada 3 sektor prioritas pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan. Selain itu, untuk pengelolaan keuangan yang optimal, penguatan terhadap peran pembinaan dan pengawasan dari Aparatur Pengawas Intern Pemerintah.

Selain itu, ia juga mendorong agar kualitas penyaluran dana Otsus dapat terjaga baik. Mendukung rencana kegiatan, rencana capaian serta mendorong adanya kualitas dari realisasi belanja daerah sendiri. Tak kalah penting bagaimana penataan alokasi Dana Otsus pada pemerintahan provinsi, pemerintahan kota dan kabupaten. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat, menurutnya perlu memakai prinsip Finance Follow Function dalam mengelola agenda pembangunan yang digunakan dari dana Otsus.

Soal rencana perpanjangan dana Otsus, Teras mengaku belum mengetahui apa yang akan diputuskan. Meski demikian, soal ini ia mengusulkan agar pengelolaan dilakukan menggunakan skema jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

“Sehingga ada semacam KPI atau Key Performance Indicator-nya dari institusi yang bertanggung jawab. Sehingga arus uang dapat terdeteksi dengan baik dari awal perencanaan sampai evaluasi,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Vience Tebay yang merupakan akademisi dari Universitas Cenderawasih di Papua menyebutkan, ada perbedaan persepsi dari pemerintah pusat di Jakarta dengan pandangan umum di masyarakat Papua soal dana Otsus. Satu sisi pemerintah pusat menilai ada keberhasilan, sebaliknya ujar Vience, banyak masyarakat yang menilai dana Otsus gagal karena memang persoalan dasar di Papua dan Papua Barat, selama 20 tahun tidak terjawab.

Meski mengakui ada dampak pembangunan infrastruktur di Papua belakangan, namun hal ini dinilai belum menjawab persoalan dasar. Vience menyebut di Papua masih banyak masalah pelurusan sejarah, persoalan HAM, tingkat inflasi tertinggi, biaya hidup tertinggi di Papua dan Papua Barat, kemiskinan di kalangan OAP kian meningkat, hingga maraknya penyakit HIV di wilayah ini. Belakangan juga secara politik, dominasi wakil rakyat dari non OAP juga dinilai memicu kesenjangan.

Vience pun mengharapkan agar terobosan dapat diambil dan Otsus dapat menjawab persoalan dasar di Papua. Di antaranya adalah dengan memberi kewenangan kepada pemerintah daerah. Sebab selama ini ada kesan, uang disediakan lewat dana Otsus, tapi kewenangan daerah tidak memadai.

“Dalam otsus itu, perlu dipahami prinsip otonomi. Prinsip otonomi adalah memberikan urusan pemerintahan yang tadinya terpusat kepada daerah dan diberi hak khusus tugas kewenangan sesuai potensi dan kekhasan daerah” ujar Vience.

Sementara itu, Antonius Ayorbaba, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua menyebut tantangan yang mesti dijawab adalah bagaimana membuat Papua merasa menjadi bagian dari Indonesia dan sebaliknya Indonesia bisa memahami Papua.

Di sisi lain, ia pun menilai perlu adanya pengelolaan keuangan secara transparan agar masyarakat dapat terlibat dalam mengawal pembangunan. Menurutnya, ini jadi tantangan tersendiri termasuk bagaimana perubahan birokrasi dapat dilakukan oleh pemimpin birokrasi di daerah. Antonius pun berharap Pemerintah Daerah di Papua dan Papua Barat dapat melakukan terobosan dengan adanya dana Otsus.

“Seberapa besar pemda kita melakukan terobosan terkait dana otsus untuk menjawab persoalan sosial kemasyarakatan. Ini yang perlu dirumuskan” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Praktisi hukum dan akademisi, Blucer W. Rajagukguk pun menilai bahwa dana Otsus patut untuk tetap dilanjutkan.  Namun, lebih jauh ia berpendapat bahwa dana Otsus juga tidak sepenuhnya diberikan dalam bentuk tunai atau transfer daerah. Sebagian besar menurutnya perlu diberikan dalam bentuk infrastruktur fisik seperti transportasi jalan yang meningkatkan aksesibilitas, konektivitas, lapangan kerja serta percepatan pembangunan manusia serta ekonomi. Hal ini diharapkan pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua.

Blucer juga mengingatkan, untuk pemerintah daerah masih ada pekerjaan rumah dalam perjalanan sekitar 20 tahun UU Otsus ini berjalan. Amanat UU Otsus kepada Pemprov Papua dan Papua Barat untuk menyusun 12 Perda Khusus dan 19 Perda Provinsi dinilai belum tuntas. Padahal dalam aturan turunan yang belum disusun itu, terdapat peraturan yang terkait dengan pengelolaan dana otsus meliputi kewenangan daerah, Perdasus tentang Pengawasan Sosial, dan tentang Komisi Hukum Ad Hoc.

“Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tahun 2019, diketahui bahwa Pemprov Papua belum menyusun dan menetapkan sebanyak 3 Perdasus dan 3 Perdasi, sedangkan Pemprov Papua Barat belum menyusun dan menetapkan sebanyak 4 Perdasus dan 12 Perdasi” ujarnya. ist/adn

Also Read

Tags