Corong Nusantara – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merilis laporan perkembangan terbaru penyakit cacar monyet.
Data terbaru dari Negara-negara Anggota WHO hingga 22 Mei, menunjukkan lebih dari 250 kasus yang dikonfirmasi dan diduga dari monkeypox dari 16 negara dan beberapa wilayah WHO, seperti diskusi PBB.
“Yang kita ketahui dari virus ini dan cara penularannya, wabah ini masih bisa dibendung. Ini adalah tujuan WHO dan Negara-negara Anggota untuk menahan wabah ini dan menghentikannya,” kata Dr Rosamund Lewis, kepala tim cacar, yang merupakan bagian dari Program Darurat WHO.
“Risiko terhadap masyarakat umum rendah, karena kita tahu bahwa cara penyaluran utama telah dijelaskan di masa lalu”, juga.
Penularan melalui kontak kulit
Menurut badan kesehatan PBB, wabah cacar monyet ini telah ditularkan melalui kontak kulit-ke-kulit, meskipun virus juga dapat ditularkan melalui tetesan napas dan tempat tidur yang terkontaminasi.
Masa inkubasi monkeypox biasanya dari enam sampai 13 hari tetapi dapat berkisar dari lima sampai 21 hari.
Kami belum memiliki informasi apakah ini akan ditularkan melalui cairan tubuh, kata Dr Lewis, sebelum mendesak kelompok yang berisiko untuk berhati-hati saat berhubungan dengan oranglain.
“Penyakit ini dapat menyerang siapa saja dan tidak terkait dengan kelompok orang tertentu,” kata Dr Lewis kepada wartawan di Jenewa.
Indonesia Masih Aman dari Cacar Monyet
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH mengatakan belum ada laporan kasus cacar monyet Indonesia.
Kemenkes tetap waspada untuk mencegah terjadinya penularan di Indonesia.
“Hingga saat ini belum ada kasus (cacar monyet) yang dilaporkan dari Indonesia,” katanya pada konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (24/5/2022), Kemenkes.
Kementerian Kesehatan tetap menjaga kewaspadaan dengan situasi dan frekuensi Questions (FAQs) terkait monkeypox yang dapat diunduh melalui https://infeksiemerging.kemkes.go.id/.
Kemenkes juga menyiapkan surat edaran untuk meningkatkan kewaspadaan di setiap wilayah melalui dinas kesehatan, kantor kesehatan pelabuhan, dan rumah sakit.
Revisi pedoman pencegahan dan pengendalian monyet pun dilakukan untuk menyesuaikan situasi dan informasi baru dari WHO, khususnya mengenai surveilans, tatalaksana klinis, komunikasi risiko, dan pengelolaan tenaga kerja
Cacar Monyet
Cacar monyet disebabkan oleh virus human monkey pox (MPXV) orthopoxvirus dari famili poxviridae yang bersifat highlipatogenik.
Virus Ini pertama kali ditemukan pada monyet di tahun 1958, sedankan casus pertama pada manusia (anak-anak) terjadi pada tahun 1970.
Penularan melalui kontak erat dengan hewan atau manusia yang terinfeksi atau benda yang terkontaminasi virus.
“Penularan dapat melalui darah, air liur, cairan tubuh, lesi kulit atau cairan pada cacar, kemudian droplet pernapasan,” katanya.
Masa Inkubasi Cacar Monyet
Masa inkubasi cacar monyet Biasanya 6 Sampai 16 Hari Tetapi Dapat Mencapai 5 Sampai 21 Hari.
Fase awal gejala yang terjadi pada 1 sampai 3 hari yaitu demam tinggi, sakit kepala hebat, limfadenopati atau pembengkakan kelenjar getah bening, nyeri punggung, nyeri otot, dan lemas.
Pada fase erupsi atau fase paling infeksius terjadinya ruam atau lesi pada kulit biasanya dimulai dari wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Secara bertahap mulai dari bintik merah seperti cacar makulopapula, lepuh berisi cairan bening (blister), lepuh berisi nanah (pustule), kemudian mengeras atau keropeng lalu rontok.
“Biasanya diperlukan waktu hingga 3 minggu sampai periode tersebut menghilang dan rontok”, ucap dr. Sharil.
Pencegahan Cacar Monyet
Upaya pencegahan untuk masyarakat, jika mengalami gejala demam dan ruam harap memeriksakan diri ke fasilitas layanan kesehatan terdekat.
Masyarakat diimbau mematuhi protokol kesehatan dengan menghindari, mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan melakukan perilaku bersih dan sehat.
WHO menetapkan cacar monyet saat ini menjadi penyakit yang memerlukan perhatian masyarakat global, karena sebagian besar kasus dilaporkan dari pasien yang tidak memiliki riwayat perjalanan ke negara-negara endemis.
“Sebagian kasus berhubungan dengan adanya keikutsertaan pada pertemuan besar yang dapat meningkatkan risiko kontak baik melalui lesi, cairan tubuh, tetesan, dan benda yang terkontaminasi,” tutur dr. Sharil.
