PALANGKA RAYA//Corong Nusantara -Eksklusi pada kaum waria masih menjadi permasalahan di banyak tempat. Minim perhatian dari pemerintah serta masih adanya diskriminasi dari masyarakat. Ada yang sudah berubah dan melakukan aktivitas seperti buruh bangunan, namun perlakukan diskriminasi membuat mereka kembali lagi menjadi seorang waria.
Salah satu waria sekaligus ketua organisasi Bawi Hatue Lampang Pembelum (Bahalap) di Palangka Raya, Stela Steven didampingi Monica mengungkapkan sebagian kecil waria yang ada di Kalteng khususnya Kota Palangka Raya memang masih ada yang bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) demi memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Sebagian besar ada juga yang bekerja sebagai pegawai salon.
“Tidak punya skill, jadi untuk bertahan hidup dengan menjajakan diri, ada yang berubah dan bekerja sebagai buruh bangunan tapi tetap diskriminasi dari pekerja lainnya, sehingga kembali menjadi waria lagi, balik lagi jadi PSK untuk bertahan hidup. Kami waria bukan sekadar mewariakan diri, karena memang dari hati, kalau disuruh memilih, siapa mau jadi waria,” kata Stela, Minggu (16/5/2021).
Ditambahkan Monica, biasanya jelang Pilkada mereka dikumpulkan seperti badut-badut penghibur. Setelah selesai Pilkada tidak ada lagi perhatian. Belum lagi diskriminasi yang didapat, namun ada juga waria yang hidup berdampingan dengan mayarakat tanpa ada diskriminasi.
“Kami juga sebagai warga negara ingin juga dihargai, punya hak yang sama, jangan ada diskriminasi, tapi sulit sih kalau masalah diskriminasi pasti ada, dari orang-orang berpendidikan juga ada, padahal kami sudah berpakaian sopan. Kadang-kadang kami ini serba salah, sopan saja tetap salah,” imbuh Monica.
Menurut Monica, sudah 80 persen waria memiliki identitas, sisanya ini ingin punya tapi bingung dengan mekanismenya. Semangat hilang, kadang sudah mengantre tapi masyarakat yang ada disitu bisik-bisik yang buat mereka risih dan tidak percaya diri, tidak nyaman untuk lebih lama mengantri.
Karena tidak punya KTP, kadang memang disuruh balik ke daerah masing-masing, kemudian bantuan-bantuan pemerintah itu tidak dapat kecuali para waria yang orang dengan HIV/Aids (ODHA). Kalau selain itu tidak dapat, padahal masih banyak yang membutuhkan perhatian pemerintah. Apa lagi dimasa pandemi ini yang berkerja disalon saja kesusahan apa lagi yang bukan. Mereka berharap adanya pelatihan-pelatihan kemampuan seperti merias kepada mereka.
Pemerhati waria, Jumansyah menyampaikan, mereka perlu perhatian. Ia bersama sejumlah rekan-rekannya bersama para ibu-ibu pengajian dengan membentuk grup yang dinamakan ‘Jumat Berkah’, menggalang dana untuk sekedar membeli sembako dan diberikan kepada para waria, dengan pertimbangannya sebagai sesama manusia sehingga berhak untuk hidup dan diperhatikan.
“Kami coba bantu semampu kami dan tidak bisa setiap saat. Banyak waria yang memang perlu makan seperti yang tinggal di Flamboyan bawah. Hari ini makan, besok tidak makan,” kata Ijong sapaan akrabnya.
Sementara Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak dan Lansia Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Palangka Raya Eka Raya E. Dohong menyampaikan, para waria ini kelompok minoritas dikenal dengan tuna susila. Sering melakukan komunikasi dan akseskan banyak hal yang dilakukan pemerintah Kota seperti pembinaan, layanan kesehatan, layanan dokumen kependudukan dan akses pelatihan keterampilan.
“Tapi dua tahun terakhir memang tidak ada program yang khusus buat teman-teman waria. Tidak ada yang memang benar-benar langsung ke mereka secara individu,” kata Eka
Selama ini, dari segi kesehatan dan pelatihan keterampilan difasilitasi aksesnya bagi mereka yang memiliki usaha. Seperti salon mendapatkan bantuan usaha ekonomi produktif modal usaha kepada mereka. Waria itu menjadi pilihan dan posisi dinas sosial tidak pernah mendiskriminasi mereka, tapi harapannya para waria tetap berfungsi sosial. yml