**WALHI, SOB, Pantau Gambut: Gagal dan Menyalahi Aturan
PALANGKA RAYA/Corong Nusantara- Program ambisius pemerintah pusat dalam mengembangkan pangan di Indonesia melalui Food Estate, merupakan pengajuan dari Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Sugianto Sabran. Pada debat kandidat Pilgub Kalteng beberapa waktu lalu, Sugianto menyatakan Food Estate ada karena permintaan secara langsung kepada Presiden RI.
Kebijakan pemerintah menetapkan Kalteng menjadi lumbung pangan dalam program Food Estate mendapat penolakan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalteng, Save Our Borneo (SOB) dan juga Pantau Gambut. Ketiga lembaga ini menolak dengan tegas keberadaan Food Estate dan meminta program tersebut dihentikan.
Direktur Eksekutif WALHI Kalteng Dimas Novan Hartono menguraikan, ada sejumlah alasan mengapa program pemerintah terkait dengan Food Estate diminta untuk dihentikan. Pertama, hasil kajian yang dilakukan WALHI Kalteng panen yang dilakukan itu memang gagal. Sebagai gambaran, lahan warga seluas 2 hektare, namun yang memang bisa dipanen hanya 3 persen, sementara sisanya rusak.
Dimas melanjutkan, skema pertanian yang diterapkan pemerintah justru membuat hasil panen mengalami penurunan drastis. Pemerintah menargetkan hasil panen 6-7 ton dalam sekali panen. Kenyataannya hasil panen hanya 1-1,3 ton.
Sementara apabila petani tetap menjalankan mekanisme pertanian yang biasa dilakukan mampu panen 3-4 ton sekali panen. Sejumlah petani akhirnya tidak mengikuti apa yang menjadi kebijakan pemerintah.
“Pemerintah juga tidak transparan dalam melaksanakan program ambisius ini. Tidak ada pembagian yang jelas atas hasil dari pertanian tersebut. Tidak ada hitam di atas putih sebagai legalitas pembagian atas hasil itu nantinya. Petani juga tidak dilibatkan dalam pembukaan lahan. Pemerintah justru melibatkan militer dalam membuka lahan. Akibatnya, lahan pertanian tidak bisa digunakan bertani, karena lahan justru rusak akibat dibuka oleh yang tidak berkompeten,” kata Dimas di Palangka Raya, Kamis (23/4).
Padahal, lanjut dia, masalah utama dari produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani adalah sempitnya area lahan pertanian, bahkan banyak petani yang tidak memiliki tanah dan berakhir menjadi buruh tani. Di sisi lain, banyak lahan masyarakat justru dialihfungsikan untuk infrastruktur, bandara, dan sektor perizinan lainnya yang akhirnya menghilangkan hak-hak mereka atas tanah.
Program Food Estate, lanjut Dimas, akan membuat petani yang memiliki lahan, tidak saja kehilangan lahan, tapi terancam menjadi buruh di lahannya sendiri. Sebab itu, hanya satu keputusan, setop Food Estate dan kembalikan pengelolaan pertanian kepada petani yang memang benar-benar memiliki kemampuan untuk itu.
Sementara itu, Peneliti Pantau Gambut Oriz Anugerah Putra mengatakan, program yang dilaksanakan pemerintah ini melanggar aturan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) LHK No 24 Tahun 2020, terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Di antaranya, kata Oriz, Permen LHK No 24 Tahun 2020 pasal 19 membolehkan kawasan hutan lindung yang sudah tidak berfungsi lindung dapat dibangun menjadi kawasan Food Estate. Padahal, dalam UU No 41 Tahun 1999 pasal 26 menyatakan bahwa pemanfaatan hutan lindung hanya sebatas pemanfaatan kawasan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Kemudian, kata Oriz lagi, pada pasal 30 Permen LHK No 24 Tahun 2020, mengatur bahwa keputusan mentri tentang pengelolaan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) dapat berlaku sebagai Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).
Artinya, pepohonan yang berada dalam kawasan hutan lindung dapat ditebang dan dimanfaatkan kayunya atas dasar KHKP. Padahal, pada pasal 26 UU No 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pemanfaatan dalam kawasan hutan lindung hanya sebatas pada hasil hutan bukan kayu.
“Pemerintah dinilai tidak transparan dalam melakukan publikasi terkait Food Estate. Masih tidak diketahui lokasi sesungguhnya yang akan dijadikan Food Estate, hal ini karena tidak ada publikasi tersebut. Perlu diketahui bersama, eks Proyek Lahan Gambut (PLG) ini rata-rata masih bergambut, sehingga tidak boleh dibuka seharusnya meskipun ada Permen LHK No 24 tadi,” kata Oriz.
Senada dengan Walhi Kalteng dan Pantau Gambut, Direktur Eksekutif SOB Safrudin Mahendra mengatakan, sejak Agustus-Desember 2020 SOB merekam dan menggali informasi terkait program Food Estate di lokasi yang menjadi target pemerintah. Hasilnya, pembajakan sawah tidak dilakukan oleh petani melainkan oleh TNI.
“Hasil monitoring yang dilakukan di Desa Belanti Siam, dengan luasan mencapai luasan ribuan hektare yang merupakan lahan milik warga, dengan menggunakan metode Food Estate mengalami penurunan hasil panen, antara 1-1,3 ton per hektare. Bahkan ada beberapa kelompok tani yang mereka sebut jonk karena tidak ada sebulir pun yang bisa dipanen,” kata Safrudin.
Program Food Estate memang gagal, ungkap Safrudin, namun pemerintah dengan berbagai upaya membela diri dan menyatakan program ini tidak gagal. Padahal sebelumnya pemerintah dengan penuh keyakinan, penerapan intervensi program Food Estate dalam sekali siklus tanam akan menghasilkan panen 6-7 ton per hektare. ded