Hukrim  

BPN Palangka Raya Bantah Terlibat Mafia Lahan

PALANGKA RAYA/Corong Nusantara – Aksi demo yang dilakukan puluhan warga Jalan Hiu Putih dan Banteng, Minggu (28/2/2021) kemarin, terkait kasus klaim lahan oleh sejumlah oknum masyarakat mendapat tanggapan dari BPN Kota Palangka Raya. Mereka membantah terlibat dalam mafia lahan seperti yang diduga oleh warga karena banyaknya sertifikat lahan yang muncul dalam klaim.

Kepala Kantor ATR/BPN Kota Palangka Raya, Budhi  Sutrisno, mengatakan dalam proses keluarnya sertifikat lahan pada suatu lokasi dipastikan sudah sesuai prosedur. Terdiri dari tiga tahap, yakni tahap pengukuran, tahap pemeriksaan lahan dan penerbitan sertifikat.

“Sesuai alurnya, pemohon mendatangi BPN untuk melakukan pengukuran dan ke lokasi langsung bersama pemohon. Selesai pengukuran maka akan muncul peta bidang. Jika ada kesalahan lokasi pengukuran maka yang salah pasti dari pemohon. BPN tidak akan melakukan pengukuran jika lahan tersebut dipastikan telah teregistrasi atau memiliki sertifikat lain,” tegasnya, Senin (1/3/2021).

Terkait tumpang tindih kepemilikan lahan di Kota Palangka Raya dan Kalimantan Tengah pada umumnya, Budhi menerangkan jika pihaknya tidak mengetahui itu karena BPN hanya Lembaga administrasi.

“Semua yang mengurus lahan akan kami layani. Perkara jika orang yang mengurus itu benar mempunyai lahan itu kami Alhamdulilah, namun jika membawa surat palsu, siapa yang tahu,” tuturnya.

Budhi menambahkan saat ini penerbitan sertifikat tanah di dalam Kawasan hutan tidak diperbolehkan. Akan tetapi di Palangka Raya dan Kalteng ada masa-masa dimana Kawasan dan non Kawasan ada perubahan. Terkait konteks sertifikat yang terbit di dalam Kawasan hutan, kemungkinan ada.

“Kemungkinan sertifikat terbit dalam Kawasan hutan itu ada, karena kemungkinan saat itu diperkenankan terbit pada periode 1990 dan pada saat belum ditetapkan sebagai kawasan hutan,” ujarnya.

Terkait dokumen kepemilikan warga berupa Verklaring, Budhi menjelaskan jika sebenarnya itu adalah Domeinverklaring yang diambil dalam Bahasa Belanda. Saat ini dokumen tersebut telah dicabut sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

“Dicabutnya Domeinverklaring itu bukan berarti warga tidak memiliki hak mengelola lahan. Bisa dimiliki namun harus ditingkatkan atau dikonversi sesuai dengan tatanan kenegaraan dan undang-undang,” imbuhnya. fwa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *