PALANGKA RAYA/Corong Nusantara– Belum lama ini, disebutkan bahwa sedikitnya ada 68 pabrik kelapa sawit yang “gulung tikar” akibat kesulitan menjual crude palm oil (CPO).
Disebutkan Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono, melimpahnya CPO di dalam negeri, hingga Juni tercatat sekitar 6,3 juta ton. Sehingga perusahaan sawit memperlambat waktu panen mereka dan kesulitan menerima Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani swadaya karena stok tangki masih terisi.
Di sisi lain, eksportir CPO juga kesulitan mencari kapal karena setelah larangan ekspor banyak kapal digunakan untuk mengangkut crude oil dari Russia.
Sekretaris GAPKI Kalimantan Tengah Bernhard RS Obidaka mengatakan, sejurus dengan apa yang dikatakan Sekjen GAPKI Pusat Edi Martono, GAPKI Kalteng menyebut adanya kebijakan pembatasan ekspor produk CPO dan turunan lainnya dengan penerapan DMO dan DPO membuat stok CPO dalam negeri melimpah, sehingga kepercayaan pasar global terhadap CPO dari Indonesia menurun.
Kemudian pilihan penggunaan minyak nabati lain saat ini yang lebih mudah didapatkan di pasar global akan memperparah keadaan.
“Bersyukur kondisi di Kalteng belum separah di Sumatera. Menurut informasi yang kami terima dari seluruh anggota GAPKI, saat ini belum ada pabrik CPO di Kalteng yang menghentikan operasionalnya. Namun, strategi yang dijalankan yaitu memperlambat rotasi panen dan mengurangi pasokan TBS dari luar,” bebernya kepada Tabengan, Kamis (14/7/2022).
Ketua DPW Indonesian Planters Society (IPS) Kalteng Joko Santoso turut menanggapi terkait banyaknya pabrik kelapa sawit yang tutup tersebut.
Joko mengatakan, pabrik atau perusahaan sawit banyak yang tutup bukan tidak ada alasan, tetapi karena memang sudah tidak ada pilihan lagi daripada merugi semakin dalam, tentunya tutup beroperasional mungkin menjadi pilihan tepat.
Karena pemerintah tak kunjung memberikan solusi, tetapi lebih menekan pada titik aturan sepihak. Contohnya aturan DMO dan DPO masih memberatkan, aturan HET pembelian sawit dari petani mandiri sebesar Rp1.600, apalagi adanya usulan kepala daerah atas hak pungutan Rp25/kg cukup menambah memukul kondisi semua pelaku usaha atau petani sawit.
Dengan adanya kondisi seperti ini yang tak kunjung membaik, tentunya banyak pihak yang dirugikan. Salah satunya petani sawit mandiri, para pelaku usaha perkebunan dan bahkan pengurangan karyawan untuk dirumahkan. Dan yang lebih parah lagi pasti akan memengaruhi perekonomian masyarakat secara luas, karena produk dari kelapa sawit dan turunannya masih menjadi kebutuhan yang penting.
“Maka harapan saya selaku Ketua DPW IPS Kalteng: berikan relaksasi pajak untuk pelaku usaha, sementara hapuskan syarat DMO dan DPO, percepat realisasi yang maksimal program B.30, B.50 dan B.100, fasilitasi armada untuk ekspor bagi pelaku usaha yang kesulitan mendapatkan armada untuk memuat bahan ekspor CPO, dan sederhanakan aturan hanya satu pintu, biar tidak semua pimpinan mengambil kebijakan masing-masing,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI) Yulhaidir menegaskan, bahwa permintaan AKPSI yang tertuang dalam Rekomendasinya kepada Pemerintah Pusat terkait pungutan Rp25/kilo TBS Sawit, hanya dikhususkan untuk Perusahaan Besar Swasta Kepala Sawit (PBS-KS) dan bukan ditujukan kepada para petani sawit swadaya. dsn