Fenomena pemekaran daerah semakin menarik dengan munculnya keterlibatan para elite politik di tingkat pusat dalam mengangkat isu tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui mekanisme partai maupun kolaborasi politiknya.
Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) bahkan seolah dijadikan ’obat mujarab’ untuk menyelesaikan berbagai penyakit administrasi pemerintahan. Agresifitas dalam pemekaran daerah ternyata telah memunculkan berbagai persoalan.
Pada tahun 2008, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan pemekaran daerah dan disimpulkan, 1. Pemerintah belum mempunyai grand design mengenai pemekaran daerah. Sejak Tahun 1999, Pemerintah ternyata belum memiliki strategi dan kebijakan (grand design) yang jelas dalam penataan daerah, terutama prediksi mengenai jumlah daerah ideal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disain ini penting dalam pemekaran daerah agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan efisien, efektif, akuntabel dan demokratis. Disain ini pula yang akan menjadi pedoman bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam menyaring aspirasi masyarakat tentang pembentukan DOB.
- Pelaksanaan observasi untuk menilai kelayakan usulan pemekaran daerah tidak dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen.
- Untuk melakukan penilaian kelayakan usulan pemekaran daerah, Depdagri melakukan observasi untuk menilai kebenaran data teknis yang diusulkan oleh calon daerah pemekaran. BPK menemukan dalam pelaksanaan observasi ternyata dilakukan oleh tenaga ahli atau konsultan yang tidak kompeten dan independen, dengan bukti-bukti sebagai berikut : a. penetapan konsultan/tenaga ahli yang akan melakukan pengkajian tidak melalui proses seleksi yang kompetitif; b. penunjukan tenaga ahli/konsultan tidak ditetapkan secara resmi dan formal serta diikat dengan suatu perjanjian yang sah; c. pelaksanaan observasi ke daerah sebagian dan/atau seluruhnya dibiayai dari calon daerah yang akan dimekarkan; dan, d. Pemerintah Daerah dan Depdagri menggunakan konsultan yang sama dalam melakukan pengkajian kelayakan teknis calon daerah yang akan dimekarkan. Dengan demikian, hasil observasi tidak dapat dijadikan acuan untuk mengetahui layak tidaknya calon daerah pemekaran, dan berisiko terhadap kesalahan pengambilan keputusan pembentukan DOB.
- Penilaian kelayakan usulan pemekaran daerah tidak didukung petunjuk teknis yang jelas. Untuk menilai kelayakan usulan pemekaran daerah dilakukan observasi ke daerah untuk menilai kebenaran data administrasi dan teknis yang disampaikan calon DOB. Dalam pelaksanaannya observasi tersebut tidak didukung dengan petunjuk teknis observasi yang baku dan jelas, yang meliputi metode pengumpulan dan analisa data, sumber data, metode sampling, dan prosedur rinci yang harus dilakukan oleh masing-masing anggota tim. Hal ini mengakibatkan hasil observasi tidak dapat dijadikan acuan untuk menilai keakuratan atau kebenaran data teknis dari calon daerah pemekaran.
- Proses pembentukan DOB atas inisiatif DPR-RI tidak melalui prosedur pengujian kelayakan yang memadai. Sesuai PP No. 129 Tahun 2000, proses pemekaran daerah harus memenuhi persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan dan menjadi domain Pemerintah. Sedangkan penetapan undang-undang pembentukan DOB merupakan domain bersama antara Pemerintah dan DPR RI.
Dalam prakteknya, seringkali gagasan pemekaran daerah berasal dari inisiatif DPR RI, yang mengesampingkan beberapa persyaratan sebagaimana diatur dalam PP No. 129 Tahun 2000. Misalnya, 1) sebelum dilakukan pengujian persyaratan teknis oleh tim teknis sekretariat DPOD, Rancangan Undang-Undang (RUU) sudah diajukan kepada Presiden; 2) proses pembahasan RUU dengan DPR RI mendahului sidang DPOD; 3) penyampaian Draft RUU kepada Presiden mendahului sidang DPOD. Keadaan tersebut mengakibatkan pembentukan beberapa DOB yang berasal atas inisiatif DPR RI tanpa melalui proses pengujian kelayakan yang memadai. 4. Setiap sidang DPOD untuk memutuskan pembentukan DOB tidak dihadiri oleh sebagian besar anggota DPOD.
Berdasarkan penjelasan pejabat di lingkungan Sekretariat DPOD diketahui bahwa hampir setiap sidang DPOD tidak dihadiri oleh menteri terkait sebagai Anggota DPOD, tetapi diwakilkan kepada staf menteri yang ditunjuk.
Dalam pelaksanaannya, setelah sidang selesai, Sekretariat DPOD mengirimkan Berita Acara Sidang kepada menteri terkait sebagai anggota DPOD untuk meminta tanda tangan. Sekretariat DPOD tidak dapat menunjukkan daftar hadir atau dokumen lainnya yang terkait dengan bukti kehadiran dalam pelaksanaan sidang DPOD.
Ketidakhadiran Menteri terkait mengakibatkan timbulnya risiko bahwa keputusan yang diambil dalam sidang DPOD tidak didasarkan atas pertimbangan yang komprehensif/memadai dari seluruh anggota DPOD yang dianggap mempunyai kompetensi dalam bidang tugasnya.
6.Beberapa keputusan pembentukan DOB tidak melalui sidang dan rekomendasi DPOD. Pembentukan DOB, baik yang berasal dari inisiatif Pemerintah maupun berasal dari inisiatif DPR RI, pada dasarnya harus melalui mekanisme sidang DPOD, karena dalam sidang tersebut dilakukan pembahasan kelayakan usulan pembentukan DOB ditinjau dari berbagai aspek sesuai persyaratan.
7.Penelaahan lebih lanjut atas risalah hasil sidang DPOD tersebut, diketahui (1) terdapat beberapa usulan DOB yang telah diterbitkan UU Pembentukan-nya, meskipun masih dalam proses pembahasan dan/atau belum diputuskan usulan pembentukannya dalam sidang DPOD; dan (2) pembentukan 97 DOB tanpa melalui keputusan dalam sidang DPOD. Keadaan tersebut mengakibatkan pembentukan beberapa DOB tidak berdasarkan pertimbangan kelayakan yang diputuskan dalam sidang DPOD dan berpotensi menimbulkan adanya praktekpraktek kecurangan dalam pembuatan usulan keputusan pembentukan DOB.
- Proses pemekaran daerah tidak didokumentasikan secara memadai. Depdagri dan DPOD tidak mendokumentasikan seluruh proses pemekaran daerah secara memadai. Hal tersebut terbukti dari tidak adanya sistem dan prosedur yang mengatur tata kelola dokumentasi dan tidak menunjuk pegawai yang secara khusus mengelola dokumen tersebut. Depdagri dan DPOD tidak melakukan tata kelola dokumen-dokumen dengan baik, seperti tidak mengklasifikasikan jenis dokumen, tidak melakukan indeksasi, tidak membuat buku kendali atau buku register arsip, dan tidak menyiapkan secara khusus tempat penyimpanan dokumen-dokumen kegiatan pemekaran daerah.
- Departemen Dalam Negeri belum melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan (efektivitas) daerah hasil pemekaran. Sejak Tahun 1999 sampai dengan 2007, daerah otonom baru yang telah dibentuk sebanyak 173 daerah yang terdiri atas 7 (tujuh) provinsi , 136 (seratus tiga puluh enam) kabupaten dan 30 (tiga puluh) kota. Meskipun DOB sudah banyak terbentuk, Departemen Dalam Negeri dhi. Ditjen Otda belum melakukan evaluasi yang memadai terhadap efektivitas pencapaian keberhasilan daerah 5 hasil pemekaran. Dengan demikian, Depdagri atau DPOD tidak mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian kinerja pemekaran daerah, sehingga tidak ada feed back bagi Depdagri dan DPOD untuk melakukan perbaikan atas kekurangan yang ada.
- Moratorium DOB telah diusulkan DPR tetapi tetap ada 30 (tiga puluh) Undang-undang Pembentukan DOB yang disahkan setelahnya. Walaupun telah ada pembicaraan tentang moratorium pada pidato Ketua DPR RI pada Rapat Paripurna DPR RI Penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2006-2007 pada tanggal 30 Maret 2007, ternyata setelah tanggal tersebut masih terdapat 44 (12 + 15 + 17) usulan calon DOB yang berasal dari Inisiatif DPR RI dan 24 diantaranya telah disahkan undang-undangnya sebagai Daerah Otonom Baru pada tanggal 21 Juli 2008 sebanyak 12 DOB; dan tanggal 26 Nopember 2008 sebanyak 12 DOB. Sebanyak enam DOB yang usulannya diajukan sebelum moratorium, ternyata undang-undang pembentukkannya juga disahkan setelah moratorium, yaitu pada tanggal 4 Januari 2008.
(Sumber: Hasil Analisa Proses Administrasi Pemekaran Daerah pada Departemen Dalam Negeri dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) disusun Tim Analisa Badan Pemeriksa Keuangan-BPK dan Biro Analisa Anggaran)