Daerah  

AMPKT Tolak Provinsi Kotawaringin Raya

PALANGKA RAYA Sejumlah pemuda Kalimantan Tengah (Kalteng) yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Kalteng (AMPKT) mengadakan pertemuan membahas masalah pemekaran Kotawaringin menjadi provinsi baru di Pulau Kalimantan dengan nama Kotawaringin Raya, Jumat (15/1).

Dalam rapat yang dihadiri 33 pemuda dari beberapa wilayah di Kalimantan tersebut, memutuskan untuk menolak pembentukan Provinsi Kotawaringin yang dinilai memecah belah Provinsi Kalteng. Menurut pengamatan AMPKT, wacana pembentukan dan perubahan status Kotawaringin menjadi provinsi baru hanya diputuskan sepihak.

Rotama, pemimpin rapat, mengatakan, para pemuda yang tergabung dalam AMPKT menuntut DPRD Kalteng agar lebih memfokuskan pada penanggulangan pandemi Covid-19 yang lebih mendesak, daripada pembentukan Provinsi Kotawaringin Raya.

 “Kami akan mendesak DPRD Kalteng untuk memahami bahwa pendirian Provinsi Kalteng diperoleh melalui proses perjuangan panjang oleh para tokoh Kalteng dan harus kita hargai sebagai generasi penerus,” tuturnya.

Rencananya AMPKT akan melakukan audiensi dengan DPRD Provinsi Kalteng pada Senin (18/1), dan selanjutnya akan melakukan audiensi di Kantor Gubernur Kalteng.

Rotama menambahkan, terdapat kesan terburu-buru untuk melakukan pemekaran wilayah menjadi sebuah provinsi. Terlebih, secara nasional maupun lokal saat ini semua lapisan masyarakat sedang berjuang untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Lalu Cakra, salah satu pemuda yang mengikuti rapat, mengatakan, alasan akan ikut mengajukan aspirasinya menolak pembentukan Provinsi Kotawaringin adalah karena Kalteng itu ada kekhasan.

Setidaknya, menurut Cakra, ada 4 alasan yang menjadi keberatan terbentuknya Provinsi Kotawaringin Raya. Pertama alasan historis, Kalteng bukanlah sebuah pemberian tetapi diperoleh dengan sebuah perjuangan, dan perjalanan sejarah ini bukan hanya milik satu kaum, semua yang ada di Kalteng berjuang pada saat itu.

Selanjutnya, alasan demografi karena salah satu syarat untuk pembentukan provinsi baru adalah jumlah penduduk. Secara sensus jumlah penduduk Kalteng 2,5 juta jiwa.  Masyarakat Dayak kurang lebih hanya 800 ribu jiwa. Maka, untuk mengisi agar kuotanya terpenuhi, mau tidak mau akan membuka kran transmigrasi. Sisi demografis akan memengaruhi politis.

“Ketika demografi dikuasai oleh bukan penduduk asli, maka kekuatan politis kita, contoh dalam Pilkada tidak punya kekuatan. Kalau dalam bahasa filsafatnya adalah kekuasaan akan dipengaruhi oleh kekuatan yang dominan,” bebernya.

Alasan lain, terkait ekonomi. Pembentukan provinsi perlu kapital yang besar. Padahal, Kalteng bukan provinsi yang kaya. Terutama, Kalteng bukanlah jalur perdagangan.

“Khususnya dalam masa pandemi ini, banyak yang kehilangan pekerjaan. Terlihat (rencana pembentukan Provinsi Kotawaringin Raya) terlalu terburu-buru,”  tambahnya lagi.

Kemudian alasan dampak lingkungan. Provinsi baru tentu juga membutuhkan pembangunan. Karena itu harus membuka lahan, maka akan terjadi kerusakan alam yang jauh lebih besar lagi.

“Sekarang sudah terjadi kerusakan alam. Jika pemecahan provinsi terjadi, maka akan terjadi kerusakan yang lebih masif. Empat alasan ini yang perlu dikaji lagi. Terkesan sangat terburu-buru dan masyarakat tidak diinformasikan terlebih dulu,” tandasnya.

Begitu pula dengan Surya, salah seorang peserta rapat yang lain. Menurutnya, pemekaran tidak harus membentuk provinsi baru, tetapi dapat dengan pemekaran kabupaten saja. Karena hal tersebut lebih menyentuh kepada kebutuhan pembangunan di daerah pelosok, seperti desa dikembangkan menjadi kabupaten.

“Jadi di desa akan ada subsidi dari pemerintah daerah untuk pembangunan. Dalam kondisi pandemi Covid-19, dana tersebut alangkah bijaknya untuk bantu masyarakat yang terdampak Covid. Covid belum tahu sampai kapan berakhir,” bebernya. dsn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *