PALANGKA RAYA/CO.ID – Setelah melaporkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pulang Pisau ke Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia atas Putusan terhadap Wahyudie dalam Perkara Pidana Nomor: 8/Pid.B/2022/PN Pps, Wahyudi melalui Penasihat Hukumnya Baron Ruhat Binti SH, resmi mendaftarkan Memori Kasasi di Pengadilan Negeri Pulang Pisau, Senin 18 Juli 2022, dengan nomor 8/Akta Pid.B/2022/PN Pps atas Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya No 91/PID/2022/Pt Plk tanggal 28 Juni 2022.
Baron Ruhat Binti SH menilai bahwa putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya dalam dalam tingkat Banding, sama sekali tidak menceminkan rasa keadilan bagi kliennya.
“Kita sangat menyangkan, majelis hakim tingkat banding tidak memperhatikan fakta dan peristiwa di luar dari tindakan pidana, dimana telah terjadi peristiwa penyelesaian secara kekeluargaan yang dilakukan kilennya dengan PT Lison Jaya pada saat dimulainya penyelidikan, penyidikan dan dalam proses peradilan tingkat pertama sampai pada tingkat banding. Dengan itikat baik kliennya mengedepankan ganti rugi, perdamaian serta kesepakatan lainnya yang merupakan pemulihan kerugian yang dialami PT Lison Jaya,” sesal Baron.
Menurut Baron, Judex Factie telah mengkesampingkan suatu peristiwa yang berlaku sebagai dasar untuk menekankan penyelesaian perkara pidana yang adil bagi pihak korban dan kliennya, dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, selayaknya penerapan keadilan restoratif terhadap perkara pidana
Baron juga mengkritisi dimana perkembangan sistem pemidanaan bukan lagi bertumpu pada pelaku, melainkan mengarahkan pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Sayangnya, menurut Baron, hal tersebut tidak disinggung sama sekali oleh majelis hakim tingkat pertama dan banding.
“Putusan Judex Factie baik tingkat pertama dan banding tidak memberikan pertimbangan yang cukup (onvoldoende gemotiveerd) menurut hukum, telah lalai dan tidak menerapkan sebagaimana mestinya, karena pertimbangan hukumnya tidak lengkap, kongkret dan sebenarnya. Oleh karenanya, putusan Judex Factie tidak tempat menerapkan hukum dan keadilan,” tandas Baron.
“Sekali lagi saya tegaskan, bahwa ini sudah terjadi perdamaian antara kedua belah pihak, semestinya perkara tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam setiap pemeriksaan perkara di peradilan tingkat pertama maupun banding. Apalagi ada pernyataan dari pihak PT Lison Jaya sebagai korban/pelapor yang sudah mencabut segala tuntutan terhadap klien saya dalam perkara ini, sebagaimana surat yang dibuat PT Lison Jaya berupa pernyataan tanggal 26 Mei 2022.
Dengan adanya pencabutan tuntutan terhadap terdakwa, kata Baron, karenanya rasa keadilan PT Lison Jaya telah pulih, dan tentu saja keadaan tersebut berlaku sebagai penyelesaian yang efektif untuk pemulihan keseimbangan yang terjadi karena tindak pidana.
Kasus ini bermula ketika Wahyudi diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim atas laporan pengaduan oleh PT. Lison Jaya sebagai saksi Pelapor dikarenakan telah mengalami kerugian akibat adanya kekurangan pembayaran uang yang seharusnya diterima oleh PT. Lison Jaya sejumlah Rp.568.778.450,- . Namun pada saat berjalannya sidang pemeriksaan perkara, Wahyudi tetap berupaya mengembalikan kekurangan pembayaran uang kepada PT. Lison Jaya sebagai bentuk penyelesaian permasalahan yang terjadi, dengan mengajukan perdamaian secara kekeluargaan untuk membayar sebagian uang dari kekurangan pembayaran serta menyerahkan beberapa Sertifikat Hak Milik untuk memulihkan kerugian yang dialami oleh PT. Lison Jaya. Pelapor dan PT. Lison Jaya selesaikan permasalahan secara kekeluargaan, dengan PT. Lison Jaya menerima sebagian uang dari kekurangan pembayaran dimaksud serta beberapa Sertifikat Hak Milik diserahkan oleh Pelapor yang secara keseluruhan melebihi nilai ekonomis dari nilai kerugian PT. Lison Jaya, atas alasan tersebut PT. Lison Jaya
Ironisnya, kata Baron, Kendati perdamaian dan penyelesaian sudah terjadi, hakim tetap memvonis Wahyudi 1, 6 tahun.
“Pertimbangan hukum dalam perkara pidana ini sangat bertentangan dengan putusan, karena dengan itikad baik Pelapor yang sudah mengembalikan uang milik PT. Lison Jaya, dan kerugian yang dialami oleh PT. Lison Jaya telah dipulihkan, kemudian PT. Lison Jaya juga menyatakan tidak menuntut lagi perselisihan yang terjadi dengan Pelapor, namun vonis yang dijatuhkan terhadap Terdakwa yakni kepada Pelapor merupakan pemidanaan sebagai pembalasan atau balas dendam.
Selain itu, kata Baron, vonis yang dijatuhkan terhadap Wahyudi tidak mendidik dan sangat jelas telah mengabaikan penerapan hukum berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) yang sepatutnya harus dikedepankan, sebagai suatu penyelesaian yang efektif berdasarkan asas keseimbangan.
“Pertimbangan hukum yang dibuat oleh Majelis Hakim mengesampingkan adanya perdamaian antara PT. Lison Jaya dan Pelapor, bahkan adanya perdamaian tidak dipertimbangkan sama sekali oleh dengan tetap dijatuhkan pidana penjara Wahyudi semata-mata menderitakan seseorang, serta tidak mencerminkan rasa keadilan bagi Pelapor sebagai Terdakwa,” tandas Baron.dor