Hukrim  

Kejati Kalteng Serap Kearifan Lokal Dalam Penyelesaian Konflik

“Penyelesaian konflik menekankan cara mufakat menemukan win-win solution, bukan menghukum. Dan bila telah tercapai kesepakatan, dilakukan upacara adat sebagai wujud rekonsiliasi. Oleh karena itu perlu untuk mengkaji peran tokoh adat dan lembaga adat Dayak dalam mengoptimalkan penegakan hukum,” ujar Kumpiady.

Profesor Ibnu Elmi AS Pelu selaku Guru Besar Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya yang juga penulis buku terkait penyelesaian konflik Adat Banjar mengulas istilah ‘adat badamai’, adat Banjar yang telah ada dalam Undang Undang Sultan Adam sejak tahun 1835 sebagai bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Tatuha Kampung dan Kecamatan secara berjenjang.

Adat badamai berkembang dengan baik pada masa Syeikh Muhammad Arsyad di Keraton Martapura yang merujuk pada internalisasi ajaran Islam dalam kitab kuning berupa ‘muwafakah’ atau sepakat. Penyelesaian badamai lebih mengedepankan aspek moral sebagai win win solution secara musyawarah, bahkan berujung pada membangun persaudaraan yang disempurnakan dengan sukuran selamatan. “Karena itu kunci penegakan hukum di Kalteng adalah kenali tokoh adat dan budaya mereka,” tutur Ibnu.

Riki Sapta Tarigan selaku Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Kalteng sebagai pembicara internal menguraikan konsep dan pelaksanaan restorative justice yang sudah dilakukan oleh kejaksaan sejak Juli 2020, yang merupakan wujud dari asas oportunitas yang dimiliki oleh penuntut umum sesuai KUHAP.

“Ada kriteria yang jelas dalam melakukan RJ, sehingga semua langkah penghentian perkara menjadi terukur dan transparan yang intinya bagaimana terwujud pengembalian kondisi semua antara pelaku dan korban serta masyarakat,” pungkas Riki.  dre

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *