PALANGKA RAYA/Corong Nusantara– Dilansir dari berbagai sumber, pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang dirintis sejak 1992, ketika beberapa perusahaan swasta membuka lahan di Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur, diharapkan membawa dampak kesejahteraan bagi masyarakat. Namun ironis, ternyata banyak terjadi carut-marut dan dampak kesejahteraan tersebut jauh dari harapan.
Mengamati perkembangan seputar carut-marut persawitan di Kalteng, Direktur Galeri Investasi BEI UPR Fitria Husnatarina mengatakan, jika berkaca dari aktivitas historis atau aktivitas faktual yang sudah terlihat selama ini, maka gambaran konkretnya adalah usaha dan perkebunan sawit belum berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Setidaknya dampak langsung pada peningkatan pendapatan yang merata dan berkesinambungan. Jika lebih dalam menarik ke belakang, tentunya tidak bisa dilepaskan dari konsep investasi yang berorientasi kepada pemilik modal.
“Kenapa konsep investasi dengan perspektif investor ini menjadi krusial eksekusinya? Karena secara garis besar gambaran ini menunjukkan investment goalnya ke arah profit oriented (bagaimana mencetak keuntungan), sehingga ketika ada cost atau biaya-biaya dengan kapasitas yang keluar dari proyeksi dan preferensi profit pemilik modal, maka akan cenderung diskip,” katanya kepada Tabengan, belum lama ini.
Dosen Fakultas Ekonomi UPR itu mengemukakan, carut-marut kondisi aktivitas investasi secara garis besar di Kalteng, lebih kepada ketidakmampuan untuk punya bargaining position dengan arah dan kebijakan investasi yang clear and clean.
“Hal ini penting karena kepatuhan akan kepatutan kebijakan investasi kan tidak hanya berfokus pada bagaimana seberapa besar jumlah investasi yang kita terima, tetapi bagaimana multiplier effect dari investasi tersebut bagi penghidupan yang layak bagi masyarakat Kalteng,” imbuhnya.
Selanjutnya, penegakan kebijakan-kebijakan pun akan menjadi sulit karena kembali kepada posisi tawar yang lemah. Misalnya saja, kalau ada penegakan aturan, kemudian akan mudah dikomplain karena nyatanya tidak berlaku sama atau masih pandang bulu.
Untuk itu, lanjutnya, kapasitas yang bisa dilakukan oleh pemangku kepentingan adalah penegakan aturan, konsep dan program investasi yang community development menjadi masyarakat memiliki poin tawar yang kuat, sehingga simbiosis mutualisme dari aktivitas investasi menjadi berdampak.
Hal tersebut mungkin terkesan sangat konseptual, tapi karena kita tidak pernah memiliki investment philosophy yang benar, maka eksekusinya menjadi carut-marut. Jika eksekusinya carut-marut, maka output dan outcomenya juga carut-marut.
“Saya pribadi sangat berharap pemahaman pemerintah daerah, terlebih lagi perusahaan, bahwa aktivitas investasi yang dilakukan adalah untuk kehidupan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Fitria juga dengan tegas menyatakan, perusahaan sawit tidak hanya membentuk koperasi plasma dan kelompok petani plasma hanya dijadikan sebagai sebuah ‘tameng’ agar bisa masuk ke kualifikasi telah melakukan pemberdayaan masyarakat yang seharusnya mandatory.
Tetapi semua itu hanya di atas kertas dan pengurus serta anggota koperasinya tidak diberdayakan, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik kepentingan karena masyarakat tetap tidak merasakan manfaat apa pun.
“Jadi harapan saya, program-program yang sebelumnya menjadi tameng itu harus seoptimal mungkin bisa dilaksanakan. Intinya, jika pembangunan berkelanjutan itu mencetuskan perlu kinerja kolaboratif dari para pemangku kepentingan dengan pemahaman yang frekuensinya sama. Titik kita saat ini adalah pemangku kepentingan tidak ada pada frekuensi yang sama,” bebernya lagi.
Selanjutnya, terkait banyaknya head office perusahaan sawit yang berada di negara tetangga, Fitria mengatakan masalah head office sebenarnya tidak terlalu krusial. Karena apa pun aktivitas bisa dikontrol dengan baik, tentunya dengan tata kelola yang baik, selayaknya dengan sistem dan terintegrasi.
“Tetapi mohon diingat, jangan lagi antar-badan dan lembaga yang terkait hal ini, saling lempar bola dan tidak ada dalam frekuensi yang sama. Hubungan antara pusat dan daerah pun sering kali terjadi lempar melempar bola karena pemahaman yang tidak sama,” tandasnya. dsn