PALANGKA RAYA/Corong Nusantara – Aktivis lingkungan hidup yang juga pendiri Ranu Welum Foundation, Emmanuela Shinta memaparkan hasil pertemuan para Pegiat Lingkungan Hidup sedunia pada 2-3 Juni 2022 di Stockholm, Swedia, Rabu (15/6/2022).
Disebutkan gadis berdarah Ma’anyan tersebut, pertemuan Stockholm+50 untuk Aksi, Pembaharuan dan Kepercayaan yang mengusung slogan Only One Earth menghasilkan banyak rekomendasi, deklarasi, konsultasi, refleksi, inisiatif, kerangka kebijakan dan laporan yang semuanya mengarah kepada satu tujuan yakni, planet yang sehat demi kesejahteraan semua orang.
Emmanuela Shinta yang akrab dipanggil Shinta itu mengatakan, salah satu poin paling menarik dan penting tentang membangun kembali hubungan saling percaya untuk solidaritas dan kerja sama yang lebih kuat, yaitu dengan cara mengenali peranan negara berkembang dalam mempromosikan sustainability, mendukung pengembangan kapasitas dan transfer teknologi untuk mampu mengimplementasikan persetujuan internasional terkait lingkungan, menghormati komitmen untuk mobilisasi 100 miliar dolar setiap tahunnya untuk membiayai gerakan iklim di negara berkembang, dan memampukan stakeholders seperti orang muda, masyarakat adat dan komunitas lokal untuk berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan di level nasional dan internasional.
Disebutkan Shinta bahwa dalam hal deklarasi dan inisiatif, ada intergenerational responsibility (tanggung jawab antar generasi) yang mencakup laporan global pemuda, pernyataan sikap dari masyarakat adat dan penanda tanganan Ministerial Statement on Future Generation; ada interconnectivity yang merupakan alat monitoring bagi transparansi dan akuntabilitas sektor swasta dalam komitmen terhadap net zero carbon dan aktivitas bebas polusi; serta implementasi kesempatan termasuk penyediaan lapangan kerja hijau (green job) dan keputusan finansial lokal yang mendukung alam dan iklim.
Menurut Shinta, bicara tentang hutan Kalimantan dan peranan masyarakat adat Dayak dalam melindungi keanekaragaman hayati di level internasional merupakan hal yang cukup sulit. Selain Emmanuela Shinta yang merupakan anggota Dewan Penasihat dan Roro Ardya Garini yang diundang secara khusus mewakili Ranu Welum Foundation, delegasi Indonesia yang hadir di Stockholm+50 hanya berasal dari sektor pemerintahan.
“Memang tidak mudah sih, karena yang bisa hadir hanya mereka yang terakreditasi oleh PBB. Akan tetapi ini menunjukkan bahwa inclusivity akan multistakeholders di level nasional adalah tantangan nyata yang harus dihadapi,” bebernya.
Empat bulan sebelum konferensi diadakan, Shinta telah berpartisipasi dalam regular meeting dewan penasihat untuk overview dan menuntun arah konferensi agar menjadi lebih efektif. Dalam setiap kesempatan, Shinta selalu menekankan pentingnya inclusivity dalam proses implementasi kebijakan internasional menuju aksi nyata di lapangan.
Bagi Shinta dan rekannya, “pertempuran” nyata terjadi di lapangan, tapi kemenangan sesungguhnya dipengaruhi oleh keputusan yang diambil di meja pertemuan. Komitmen untuk mendukung pergerakan orang muda untuk iklim dan inisiatif masyarakat adat untuk melindungi hutan WAJIB dipenuhi oleh pemerintah Indonesia.
“Untuk selanjutnya, Ranu Welum melalui gerakan Youth Act akan terus berupaya membawa isu Kalimantan untuk dibahas di forum PBB,” imbuhnya.
Ketika dikonfirmasi terkait penolakan Walhi terhadap usulan pemutihan 1.5 juta hektar oleh Pemprov Kalteng, dirinya mengaku belum bisa berkomentar oleh karena data dan informasi yang belum lengkap dimilikinya.
Hanya saja Shinta menekankan, memang seharusnya, kawasan hutan/lahan yang degraded atau rusak, wajib dipulihkan. Ini berlaku bagi semua entah stakeholdernya legal atau ilegal.
“Pemerintah wajib tegas dan berkomitmen dalam upaya reforestasi. Sesuai kesepakatan internasional, negara-negara diminta untuk net zero carbon di 2030, termasuk Indonesia. Semua stakeholders wajib bekerja sama mewujudkannya,” tandasnya.dsn