PALANGKA RAYA/Corong Nusantara– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng) menyoroti bencana banjir yang terus berulang terjadi di Kalteng. Terbaru, banjir mengepung sejumlah kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar).
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengatakan, banjir adalah konsekuensi yang harus diterima Kalteng. Pembukaan lahan yang dilakukan secara masif untuk perkebunan, pertambangan dan kehutanan, membuat daerah resapan air menjadi berkurang. Dampaknya, hujan turun dengan intensitas tinggi dan dalam jangka waktu yang panjang menyebabkan banjir.
Sekarang ini, kata Bayu, banjir terjadi di Kabupaten Kobar, wilayah tersebut lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan kehutanan banyak dibuka. Ketiga komponen tersebut berperan besar dalam menyebabkan terjadinya deforestasi dan penurunan daya dukung lingkungan.
Hadirnya lahan perkebunan kelapa sawit secara tidak langsung industri ekstraktif sumber daya alam seperti HPH/HTI dan tambang, dan alih fungsi lahan untuk perkebunan besar sawit, berkontribusi terhadap deforestasi, maupun penurunan daya dukung tampung lingkungan.
“Solusi yang harus dilakukan pemerintah adalah percepat pemulihan kawasan ekosistem penting, seperti hutan yang kritis, dan kawasan ekologi gambut yang rusak. Kawasan-kawasan ekosistem sangat berperan dalam pencegahan bencana ekologis dan perlindungan kawasan di sekitarnya. Penting juga, pemerintah mengevaluasi kembali pemberian izin sektor kehutanan, pertambangan dan perkebunan yang ada,” kata Bayu, mengulas penyebab banjir yang terjadi di Kobar, Jumat (1/7).
Evaluasi, tegas Bayu, memastikan kesesuaian lahan dan melindungi kawasan hutan yang tersisa di atas izin-izin tersebut. Bencana ekologis banjir yang kali ini melanda wilayah Kabupaten Kobar merupakan bukti nyata dari kondisi yang disebut sebagai darurat ekologis di Kalteng.
Banjir yang terjadi, jelas Bayu, diperburuk oleh dampak perubahan dan krisis iklim. Banyak kabupaten di Kalteng, kualitas daya tampung lingkungannya menurun, hal ini karena degradasi dan deforestasi hutan sebagai area tangkapan air menjadi salah satu faktor penyebab. Area hutan juga sebagai area perlindungan dan mitigasi bencana terhadap daerah sekitar sudah tidak mampu lagi berfungsi maksimal.
Menurutnya, upaya menahan alih fungsi hutan dan pemulihan wilayah hutan yang kritis dengan menanam kembali, atau reboisasi belum berjalan maksimal dan terkesan lambat. Belum lagi masih maraknya pembalakan liar, dan pemberian izin di atas kawasan hutan semakin memperparah kondisi saat bencana ekologis terjadi. ded