PALANGKA RAYA/Corong Nusantara– Upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah mengusulkan pemutihan lahan seluas 1,5 juta hektare yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng, mendapat sorotan tajam dari sejumlah elemen masyarakat.
Pasalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan terdapat 831.333 hektare lahan sawit tak berizin di wilayah Kalteng.
“Buka dulu datanya, di mana ketelanjurannya? Ketika ketelanjuran itu fatal, setidaknya selain pemerintah memberikan toleransi pemutihan, namun penegakan hukum pidana juga harus tetap dilaksanakan,” tegas Parlin Bayu Hutabarat dari LBH Genta Keadilan, Senin (13/6/2022),
Parlin mengakui Undang-Undang Cipta Kerja memang memberi peluang untuk melengkapi sarana administrasi, sehingga terbuka kebijakan pemutihan.
Usulan pemutihan dilakukan dalam upaya negosiasi ke pemerintah pusat, sebagai dalil ketelanjuran sejumlah pelaku usaha yang telah merambah kawasan hutan. Dengan pemutihan tersebut, maka penggunaan kawasan hutan tanpa izin tersebut akan menjadi legal digunakan oleh pelaku usaha, baik perkebunan atau pertambangan.
Karena jika ketelanjuran itu dianggap benar, bagaimana dengan akibat yang telah ditimbulkannya. Contohnya berakibat kerusakan hutan atau kerusakan ekosistem yang seharusnya menjadi pelanggaran hukum.
“Negara sudah mengalami kerugian akibat ketelanjuran tadi. Hutan menjadi rusak akibat pembabatan, terjadi kerusakan ekosistem, kemudian ada potensi kerugian negara akibat tidak dipenuhinya syarat-syarat tadi,” yakin Parlin.
Dia melihat pemerintah pada satu sisi memberi jalan keluar bagi pengusaha perkebunan itu dalam konteks administrasi. Tapi dalam konteks penegakan hukum pidananya kalau ketelanjuran berdampak mengakibatkan kerusakan lingkungan, penegakan hukum harus tetap dijalankan.
“Jangan ada kesan pemutihan hanya upaya melegalisasi pelanggaran,” kata Parlin.
KLHK jangan hanya melihat sisi administrasinya, melainkan juga mengkaji atau menganalisa apakah ketika diputihkan ternyata telah memberikan dampak krusial bagi wilayah. Harus dipisahkan antara legalisasi sebagai upaya administrasi untuk persoalan perizinannya, tapi penegakan pidananya tetap harus dijalankan.
Pemerintah seharusnya bukan hanya aktif berupaya memutihkan pelanggaran karena ketelanjuran sendiri merupakan akibat perbuatan pelaku usaha yang tidak menaati peraturan.
“Kalau Pemprov Kalteng yang aktif, ini akan menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat. Karena kepentingan ketelanjuran lebih ditempatkan kepada pelaku usaha. UU Ciptaker memberi ruang bagi pelaku usaha untuk memenuhi syarat-syarat perizinan. Jadi jangan Pemprov Kalteng yang aktif,” papar Parlin.
Pemprov Kalteng jangan hanya melindungi kepentingan pengusaha, tetapi juga memberikan teguran keras kepada pelaku usaha untuk menaati peraturan yang berlaku. Selain itu, Pemprov harus menyampaikan data atau informasi kepada masyarakat terkait perusahaan-perusahaan mana saja yang dikategorikan telanjur melakukan kegiatan yang tidak sesuai namun hendak diputihkan, memberikan batas waktu bagi pelaku usaha untuk menaati syarat pemutihan.
Pemprov juga harus melakukan pemetaan untuk melihat apakah ketelanjuran itu sudah memberikan dampak krusial bagi ekosistem. Data perusahaan terkait perizinan juga harus disampaikan Pemprov kepada KLHK terkait lahan, izin, dan lahan bermasalah agar publik tahu.
“Nantinya KLHK yang akan melakukan penindakan terhadap para pelanggar perizinan tersebut,” tandas Parlin. dre